Pagi itu langit cerah. Burung-burung berkicau riang. Udara terasa segar, dan sinar matahari masuk ke sela-sela dedaunan. Tapi, pemandangan itu tidak selalu bisa kita nikmati sekarang. Di banyak tempat, udara kotor, sampah berserakan, dan pohon-pohon ditebang habis.
Kita sedang hidup di dunia yang tengah berubah. Bukan hanya karena teknologi atau gaya hidup, tapi juga karena bumi ini sedang menjerit. Suhu semakin panas. Udara semakin sulit. Hutan semakin sempit. Kadang-kadang kita bertanya-tanya: “Apa yang sedang terjadi? Dan apa yang bisa saya lakukan? “
Pertanyaan itulah yang membawa kita pada ekoteologi — sebuah cara pandang yang menggabungkan iman dan kepedulian terhadap lingkungan? Ini bukan soal ilmu tinggi. Ini soal kesadaran sederhana bahwa bumi ini diciptakan Tuhan dan kita punya tanggung jawab untuk menjaganya.
Iman yang Menyatu dengan Bumi
Sebagian dari kita mungkin merasa bahwa soal lingkungan adalah urusan orang lain—aktivis, pemerintah, atau orang-orang yang belajar ilmu lingkungan. Tapi, sebenarnya, setiap orang beriman adalah juga seorang “penjaga ciptaan”.
Dalam Kitab Kejadian, Tuhan menciptakan bumi ini “baik adanya”, dan mempercayakan kepada manusia untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kej 2:15). Artinya, sejak awal, manusia dipanggil bukan untuk merusak, tapi untuk merawat.
Iman sejati tidak berhenti di altar, mimbar, atau ruang doa. Iman yang hidup akan menyentuh tanah yang kita pijak, udara yang kita hirup, dan sungai yang mengalir di sekitar kita. Saat kita melihat alam sebagai ciptaan Tuhan, maka setiap tindakan kita terhadap lingkungan juga menjadi bentuk ibadah. Menanam pohon bisa menjadi doa. Memungut sampah di jalan bisa menjadi pujian. Menghemat air dan listrik bisa menjadi bentuk puasa yang sederhana namun berarti.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang memisahkan antara iman dan dunia. Mereka berpikir bahwa yang rohani hanya yang berkaitan dengan ibadah formal, sementara alam adalah sesuatu yang biasa saja. Padahal, kehadiran Allah tidak terbatas di tempat ibadah. Ia hadir juga di semilir angin, di warna-warni bunga, dan dalam kesunyian hutan. Maka, ketika kita menjaga bumi, sebenarnya kita sedang menjaga ruang perjumpaan dengan Tuhan. Bumi adalah “bait Allah yang pertama”—yang dibangun langsung oleh tangan-Nya sendiri.
Cinta yang Terwujud dalam Tindakan
Cinta pada alam bukan hanya soal kata-kata indah di spanduk atau status media sosial. Cinta butuh bukti. Dan bukti itu harus bisa terlihat dalam tindakan kecil kita setiap hari. Saat kita tidak membakar sampah sembarangan—itu cinta. Saat kita membawa tumbler sendiri agar tidak beli air kemasan plastik—itu cinta.
Saat kita ikut menanam pohon, membersihkan lingkungan, atau mengajak anak-anak bermain sambil mengenal alam—itu cinta yang nyata.
Cinta sejati selalu menuntut pengorbanan, walau kecil. Kadang butuh repot sedikit, seperti memisahkan sampah organik dan anorganik, atau berjalan kaki saat jaraknya dekat. Tapi di situlah nilai dari cinta itu tumbuh. Karena cinta yang hanya disimpan dalam hati, tanpa diwujudkan dalam aksi, hanyalah niat baik yang tidak pernah selesai. Justru lewat tindakan-tindakan sederhana itu, kita menunjukkan bahwa kita peduli, bahwa kita mau menjadi bagian dari solusi.
Banyak dari kita menunggu gerakan besar atau proyek pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan. Tapi sesungguhnya, perubahan itu dimulai dari meja makan kita, dari halaman rumah kita, dari pilihan-pilihan harian yang tampaknya kecil. Saat semakin banyak orang melakukan tindakan kecil dengan penuh kesadaran, maka dampaknya akan menjadi gerakan besar yang membawa harapan. Karena bumi tidak hanya butuh orang pintar, tapi juga butuh orang yang sungguh-sungguh mencintainya.
ASN, Guru, Orang Tua, Kaum Muda: Semua Punya Peran
Menjaga bumi bukan tugas satu orang atau satu kelompok saja. Ini adalah tanggung jawab bersama. Setiap kita—apapun profesinya, berapapun usianya, dan di manapun berada – punya peran penting. Bumi ini adalah rumah bersama, dan kita semua adalah penghuninya. Maka, siapa pun kita, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari gerakan cinta alam yang nyata.
Para ASN (Aparatur Sipil Negara), misalnya, memegang peran strategis dalam membentuk kebijakan dan menjadi teladan di lingkungan kerja maupun masyarakat. Ketika ASN hidup sederhana, hemat energi, menolak pemborosan, dan tidak melakukan pencemaran, itu menjadi contoh konkret bagi warga. Bahkan, membuat program-program pemerintah yang berpihak pada lingkungan bisa menjadi bentuk pelayanan publik yang mulia. ASN bukan hanya pelayan negara, tapi juga pelayan bumi ciptaan Tuhan.
Para guru dan pendidik juga memiliki tanggung jawab istimewa. Di tangan mereka, generasi muda dibentuk bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan nilai. Mengajarkan murid mencintai lingkungan bisa dimulai dari hal-hal sederhana: membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan kelas, membuat taman sekolah, hingga membawa topik lingkungan ke dalam pelajaran. Lebih dari itu, guru juga bisa menanamkan makna spiritual di balik tindakan menjaga lingkungan—bahwa mencintai alam adalah bagian dari mencintai Tuhan dan sesama.
Orang tua dan kaum muda pun tak kalah penting. Orang tua adalah guru pertama di rumah. Mereka bisa mengajarkan anak-anak menghargai alam sejak kecil—dari tidak merusak tanaman, mencintai hewan, hingga bijak dalam menggunakan air dan listrik. Sementara itu, kaum muda memiliki energi, kreativitas, dan pengaruh luar biasa. Lewat media sosial, musik, komunitas, dan gaya hidup mereka, pesan cinta lingkungan bisa menyebar luas dan membentuk budaya baru yang lebih ramah terhadap bumi. Bila kaum muda bergerak, perubahan besar bisa dimulai dari sekarang.
Kita Tidak Bisa Diam Lagi
Bumi ini rumah kita bersama. Kalau rumah kita rusak, kita semua yang akan menderita. Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda. Maka, sudah waktunya kita berhenti menjadi penonton, dan mulai menjadi pelaku perubahan.
Kita tidak bisa lagi bersikap netral di hadapan krisis ekologi. Diam berarti membiarkan kehancuran terus berlangsung. Ketidakpedulian adalah bentuk keterlibatan pasif yang ikut memperparah luka bumi. Mungkin kita merasa kecil dan tidak berarti, tetapi justru dari tindakan-tindakan sederhana itulah perubahan dimulai. Kita tidak harus menyelamatkan dunia sendirian, tapi kita bisa mulai menyelamatkan sudut kecil di mana kita tinggal, bekerja, dan berdoa.
Bayangkan jika setiap rumah menjadi tempat yang ramah lingkungan. Setiap kantor menjadi tempat yang hemat energi. Setiap sekolah mengajarkan anak-anak untuk mencintai bumi. Setiap gereja, masjid, pura, dan rumah ibadah menjadi ruang pembelajaran untuk merawat ciptaan. Maka, perlahan tapi pasti, kita sedang membangun peradaban yang baru—peradaban cinta, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama dan seluruh ciptaan. Dunia tidak berubah karena segelintir orang melakukan sesuatu yang besar, tetapi karena banyak orang melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.
Ekoteologi bukan teori, tapi cara hidup
Ekoteologi bukan sekadar konsep yang dibicarakan di ruang kuliah atau seminar gereja. Ia adalah panggilan untuk menghidupi iman dengan cara yang membumi—secara harfiah. Ini bukan tentang memahami ayat demi ayat secara intelektual, tapi tentang bagaimana ayat-ayat itu menuntun kita mencintai alam dalam keseharian. Bukan lagi soal wacana besar, tapi soal bagaimana kita mencuci tangan tanpa membuang air berlebih, membungkus makanan tanpa plastik, atau memilih berjalan kaki saat bisa.
Cara hidup yang ekoteologis menempatkan manusia bukan sebagai penguasa atas ciptaan, tapi sebagai penjaga. Kita hidup tidak untuk menghisap habis isi bumi, melainkan untuk menjaga keseimbangan agar kehidupan tetap berlanjut. Saat kita sadar bahwa kita dan alam saling bergantung satu sama lain, kita mulai hidup lebih bijak: mengambil secukupnya, menggunakan seperlunya, dan mengembalikan semampunya. Inilah spiritualitas yang hidup—yang tidak hanya menyentuh hati, tapi juga tanah, air, dan udara di sekitar kita.
Lebih jauh, cara hidup seperti ini menumbuhkan sikap rendah hati. Kita jadi tahu bahwa manusia bukan pusat segalanya. Kita hanyalah satu dari sekian banyak makhluk dalam satu ekosistem besar yang dirancang oleh Tuhan dengan sangat indah dan seimbang. Dengan kesadaran ini, kita belajar untuk tidak serakah, tidak boros, tidak semena-mena terhadap alam. Kita belajar untuk hidup bersahabat, bukan bermusuhan, dengan ciptaan lain.
Akhirnya, ekoteologi bukanlah gerakan sesaat karena tren isu lingkungan. Ini adalah laku panjang, konsisten, dan penuh kesadaran. Ia menyentuh pola konsumsi, cara berpikir, dan cara kita memandang hidup. Setiap pilihan—dari belanja di pasar sampai membuang sampah—adalah bagian dari ibadah kita kepada Tuhan. Karena dalam dunia yang sedang terluka ini, cinta pada bumi bukan pilihan tambahan. Ia adalah bagian dari kesetiaan kita sebagai umat beriman.
Penutup: Cinta Alam Adalah Cinta Kehidupan
Mari kita jaga bumi ini bukan karena kita takut bencana, tapi karena kita menghargai kehidupan. Karena kita percaya, bahwa di balik pepohonan yang tumbuh, sungai yang mengalir, dan langit yang biru, ada wajah Tuhan yang sedang tersenyum.
Ketika kita mencintai bumi, kita sedang mencintai kehidupan. Dan saat kita mencintai kehidupan, kita sedang menghormati Sang Pemberi Hidup itu sendiri.
Cinta pada alam tidak harus dimulai dari hal besar. Ia bisa berawal dari satu langkah kecil yang dilakukan dengan niat baik. Mungkin dari hari ini kita mulai mematikan lampu saat tidak digunakan, membawa tas belanja sendiri, atau menyiram tanaman setiap pagi. Meski kecil, itu adalah bentuk kasih yang nyata. Dan kasih yang terus dirawat akan menjadi kebiasaan, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi kesaksian hidup yang menginspirasi orang lain.
Mari kita menjadi bagian dari generasi yang tidak hanya mewariskan bangunan dan teknologi, tetapi juga udara yang bersih, air yang jernih, dan tanah yang subur untuk anak cucu kita. Dunia ini bukan milik kita sepenuhnya, tapi titipan yang harus kita rawat. Maka, saat kita berjalan bersama—dengan iman, harapan, dan cinta—kita percaya bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tapi pasti terjadi. Karena ketika kasih bertemu aksi nyata, bumi pun ikut disembuhkan.
“Jagalah bumi seperti engkau menjaga ibumu. Cintailah alam seperti engkau mencintai anakmu. Karena kehidupan ini akan terus berlanjut kalau kita hidup dalam cinta yang nyata.”
*Nomor Kontak Telp/WA: 082143333336; e-mail: doomartinus1@gmail.com