Ekoteologi: Antara Spiritualitas dan Aksi Nyata “Cinta Alam, Cinta Kehidupan” Oleh: Martinus Doo, S.Ag. , M.Pd. , Gr.*

Pagi itu langit cerah. Burung-burung berkicau riang. Udara terasa segar, dan sinar matahari masuk ke sela-sela dedaunan. Tapi, pemandangan itu tidak selalu bisa kita nikmati sekarang. Di banyak tempat, udara kotor, sampah berserakan, dan pohon-pohon ditebang habis.
Kita sedang hidup di dunia yang tengah berubah. Bukan hanya karena teknologi atau gaya hidup, tapi juga karena bumi ini sedang menjerit. Suhu semakin panas. Udara semakin sulit. Hutan semakin sempit. Kadang-kadang kita bertanya-tanya: “Apa yang sedang terjadi? Dan apa yang bisa saya lakukan? “

Pertanyaan itulah yang membawa kita pada ekoteologi — sebuah cara pandang yang menggabungkan iman dan kepedulian terhadap lingkungan? Ini bukan soal ilmu tinggi. Ini soal kesadaran sederhana bahwa bumi ini diciptakan Tuhan dan kita punya tanggung jawab untuk menjaganya.

Iman yang Menyatu dengan Bumi

Sebagian dari kita mungkin merasa bahwa soal lingkungan adalah urusan orang lain—aktivis, pemerintah, atau orang-orang yang belajar ilmu lingkungan. Tapi, sebenarnya, setiap orang beriman adalah juga seorang “penjaga ciptaan”.

Dalam Kitab Kejadian, Tuhan menciptakan bumi ini “baik adanya”, dan mempercayakan kepada manusia untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kej 2:15). Artinya, sejak awal, manusia dipanggil bukan untuk merusak, tapi untuk merawat.

Iman sejati tidak berhenti di altar, mimbar, atau ruang doa. Iman yang hidup akan menyentuh tanah yang kita pijak, udara yang kita hirup, dan sungai yang mengalir di sekitar kita. Saat kita melihat alam sebagai ciptaan Tuhan, maka setiap tindakan kita terhadap lingkungan juga menjadi bentuk ibadah. Menanam pohon bisa menjadi doa. Memungut sampah di jalan bisa menjadi pujian. Menghemat air dan listrik bisa menjadi bentuk puasa yang sederhana namun berarti.

Sayangnya, tidak sedikit orang yang memisahkan antara iman dan dunia. Mereka berpikir bahwa yang rohani hanya yang berkaitan dengan ibadah formal, sementara alam adalah sesuatu yang biasa saja. Padahal, kehadiran Allah tidak terbatas di tempat ibadah. Ia hadir juga di semilir angin, di warna-warni bunga, dan dalam kesunyian hutan. Maka, ketika kita menjaga bumi, sebenarnya kita sedang menjaga ruang perjumpaan dengan Tuhan. Bumi adalah “bait Allah yang pertama”—yang dibangun langsung oleh tangan-Nya sendiri.


Cinta yang Terwujud dalam Tindakan

Cinta pada alam bukan hanya soal kata-kata indah di spanduk atau status media sosial. Cinta butuh bukti. Dan bukti itu harus bisa terlihat dalam tindakan kecil kita setiap hari. Saat kita tidak membakar sampah sembarangan—itu cinta. Saat kita membawa tumbler sendiri agar tidak beli air kemasan plastik—itu cinta.

Saat kita ikut menanam pohon, membersihkan lingkungan, atau mengajak anak-anak bermain sambil mengenal alam—itu cinta yang nyata.

Cinta sejati selalu menuntut pengorbanan, walau kecil. Kadang butuh repot sedikit, seperti memisahkan sampah organik dan anorganik, atau berjalan kaki saat jaraknya dekat. Tapi di situlah nilai dari cinta itu tumbuh. Karena cinta yang hanya disimpan dalam hati, tanpa diwujudkan dalam aksi, hanyalah niat baik yang tidak pernah selesai. Justru lewat tindakan-tindakan sederhana itu, kita menunjukkan bahwa kita peduli, bahwa kita mau menjadi bagian dari solusi.

Banyak dari kita menunggu gerakan besar atau proyek pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan. Tapi sesungguhnya, perubahan itu dimulai dari meja makan kita, dari halaman rumah kita, dari pilihan-pilihan harian yang tampaknya kecil. Saat semakin banyak orang melakukan tindakan kecil dengan penuh kesadaran, maka dampaknya akan menjadi gerakan besar yang membawa harapan. Karena bumi tidak hanya butuh orang pintar, tapi juga butuh orang yang sungguh-sungguh mencintainya.


ASN, Guru, Orang Tua, Kaum Muda: Semua Punya Peran

Menjaga bumi bukan tugas satu orang atau satu kelompok saja. Ini adalah tanggung jawab bersama. Setiap kita—apapun profesinya, berapapun usianya, dan di manapun berada – punya peran penting. Bumi ini adalah rumah bersama, dan kita semua adalah penghuninya. Maka, siapa pun kita, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari gerakan cinta alam yang nyata.

Para ASN (Aparatur Sipil Negara), misalnya, memegang peran strategis dalam membentuk kebijakan dan menjadi teladan di lingkungan kerja maupun masyarakat. Ketika ASN hidup sederhana, hemat energi, menolak pemborosan, dan tidak melakukan pencemaran, itu menjadi contoh konkret bagi warga. Bahkan, membuat program-program pemerintah yang berpihak pada lingkungan bisa menjadi bentuk pelayanan publik yang mulia. ASN bukan hanya pelayan negara, tapi juga pelayan bumi ciptaan Tuhan.

Para guru dan pendidik juga memiliki tanggung jawab istimewa. Di tangan mereka, generasi muda dibentuk bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan nilai. Mengajarkan murid mencintai lingkungan bisa dimulai dari hal-hal sederhana: membiasakan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan kelas, membuat taman sekolah, hingga membawa topik lingkungan ke dalam pelajaran. Lebih dari itu, guru juga bisa menanamkan makna spiritual di balik tindakan menjaga lingkungan—bahwa mencintai alam adalah bagian dari mencintai Tuhan dan sesama.

Orang tua dan kaum muda pun tak kalah penting. Orang tua adalah guru pertama di rumah. Mereka bisa mengajarkan anak-anak menghargai alam sejak kecil—dari tidak merusak tanaman, mencintai hewan, hingga bijak dalam menggunakan air dan listrik. Sementara itu, kaum muda memiliki energi, kreativitas, dan pengaruh luar biasa. Lewat media sosial, musik, komunitas, dan gaya hidup mereka, pesan cinta lingkungan bisa menyebar luas dan membentuk budaya baru yang lebih ramah terhadap bumi. Bila kaum muda bergerak, perubahan besar bisa dimulai dari sekarang.


Kita Tidak Bisa Diam Lagi


Bumi ini rumah kita bersama. Kalau rumah kita rusak, kita semua yang akan menderita. Tidak peduli kaya atau miskin, tua atau muda. Maka, sudah waktunya kita berhenti menjadi penonton, dan mulai menjadi pelaku perubahan.

Kita tidak bisa lagi bersikap netral di hadapan krisis ekologi. Diam berarti membiarkan kehancuran terus berlangsung. Ketidakpedulian adalah bentuk keterlibatan pasif yang ikut memperparah luka bumi. Mungkin kita merasa kecil dan tidak berarti, tetapi justru dari tindakan-tindakan sederhana itulah perubahan dimulai. Kita tidak harus menyelamatkan dunia sendirian, tapi kita bisa mulai menyelamatkan sudut kecil di mana kita tinggal, bekerja, dan berdoa.

Bayangkan jika setiap rumah menjadi tempat yang ramah lingkungan. Setiap kantor menjadi tempat yang hemat energi. Setiap sekolah mengajarkan anak-anak untuk mencintai bumi. Setiap gereja, masjid, pura, dan rumah ibadah menjadi ruang pembelajaran untuk merawat ciptaan. Maka, perlahan tapi pasti, kita sedang membangun peradaban yang baru—peradaban cinta, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama dan seluruh ciptaan. Dunia tidak berubah karena segelintir orang melakukan sesuatu yang besar, tetapi karena banyak orang melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.


Ekoteologi bukan teori, tapi cara hidup


Ekoteologi bukan sekadar konsep yang dibicarakan di ruang kuliah atau seminar gereja. Ia adalah panggilan untuk menghidupi iman dengan cara yang membumi—secara harfiah. Ini bukan tentang memahami ayat demi ayat secara intelektual, tapi tentang bagaimana ayat-ayat itu menuntun kita mencintai alam dalam keseharian. Bukan lagi soal wacana besar, tapi soal bagaimana kita mencuci tangan tanpa membuang air berlebih, membungkus makanan tanpa plastik, atau memilih berjalan kaki saat bisa.

Cara hidup yang ekoteologis menempatkan manusia bukan sebagai penguasa atas ciptaan, tapi sebagai penjaga. Kita hidup tidak untuk menghisap habis isi bumi, melainkan untuk menjaga keseimbangan agar kehidupan tetap berlanjut. Saat kita sadar bahwa kita dan alam saling bergantung satu sama lain, kita mulai hidup lebih bijak: mengambil secukupnya, menggunakan seperlunya, dan mengembalikan semampunya. Inilah spiritualitas yang hidup—yang tidak hanya menyentuh hati, tapi juga tanah, air, dan udara di sekitar kita.

Lebih jauh, cara hidup seperti ini menumbuhkan sikap rendah hati. Kita jadi tahu bahwa manusia bukan pusat segalanya. Kita hanyalah satu dari sekian banyak makhluk dalam satu ekosistem besar yang dirancang oleh Tuhan dengan sangat indah dan seimbang. Dengan kesadaran ini, kita belajar untuk tidak serakah, tidak boros, tidak semena-mena terhadap alam. Kita belajar untuk hidup bersahabat, bukan bermusuhan, dengan ciptaan lain.

Akhirnya, ekoteologi bukanlah gerakan sesaat karena tren isu lingkungan. Ini adalah laku panjang, konsisten, dan penuh kesadaran. Ia menyentuh pola konsumsi, cara berpikir, dan cara kita memandang hidup. Setiap pilihan—dari belanja di pasar sampai membuang sampah—adalah bagian dari ibadah kita kepada Tuhan. Karena dalam dunia yang sedang terluka ini, cinta pada bumi bukan pilihan tambahan. Ia adalah bagian dari kesetiaan kita sebagai umat beriman.


Penutup: Cinta Alam Adalah Cinta Kehidupan

Mari kita jaga bumi ini bukan karena kita takut bencana, tapi karena kita menghargai kehidupan. Karena kita percaya, bahwa di balik pepohonan yang tumbuh, sungai yang mengalir, dan langit yang biru, ada wajah Tuhan yang sedang tersenyum.

Ketika kita mencintai bumi, kita sedang mencintai kehidupan. Dan saat kita mencintai kehidupan, kita sedang menghormati Sang Pemberi Hidup itu sendiri.

Cinta pada alam tidak harus dimulai dari hal besar. Ia bisa berawal dari satu langkah kecil yang dilakukan dengan niat baik. Mungkin dari hari ini kita mulai mematikan lampu saat tidak digunakan, membawa tas belanja sendiri, atau menyiram tanaman setiap pagi. Meski kecil, itu adalah bentuk kasih yang nyata. Dan kasih yang terus dirawat akan menjadi kebiasaan, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi kesaksian hidup yang menginspirasi orang lain.

Mari kita menjadi bagian dari generasi yang tidak hanya mewariskan bangunan dan teknologi, tetapi juga udara yang bersih, air yang jernih, dan tanah yang subur untuk anak cucu kita. Dunia ini bukan milik kita sepenuhnya, tapi titipan yang harus kita rawat. Maka, saat kita berjalan bersama—dengan iman, harapan, dan cinta—kita percaya bahwa perubahan bukan hanya mungkin, tapi pasti terjadi. Karena ketika kasih bertemu aksi nyata, bumi pun ikut disembuhkan.

“Jagalah bumi seperti engkau menjaga ibumu. Cintailah alam seperti engkau mencintai anakmu. Karena kehidupan ini akan terus berlanjut kalau kita hidup dalam cinta yang nyata.”

 

*Nomor Kontak Telp/WA: 082143333336; e-mail: doomartinus1@gmail.com

Add Your Heading Text Here

Lise Meitner: Jenius Atom yang Menolak Menjadi Dewa Perusak

Oleh: Martinus Doo
Kategori: Ilmu Pengetahuan & Sosok | Esai Populer

“Saya tidak mempelajari fisika untuk menghancurkan umat manusia.”
— Lise Meitner

Di tengah sejarah besar yang dipenuhi nama-nama lelaki agung seperti Einstein, Oppenheimer, dan Bohr, ada satu nama yang nyaris hilang dalam sunyi: Lise Meitner. Padahal, tanpa dirinya, bom atom mungkin hanya akan menjadi gagasan liar di atas kertas. Ironisnya, dia menemukan formula untuk melepaskan kekuatan luar biasa dalam inti atom — dan kemudian menolak menggunakannya untuk membinasakan umat manusia.

Siapa sebenarnya Lise Meitner? Dan mengapa namanya seperti sengaja disembunyikan dari podium kehormatan dunia sains?

Penemuan di Tengah Pengasingan

Tahun 1938, di tengah gempuran fasisme Nazi dan diskriminasi rasial terhadap Yahudi, Lise Meitner melarikan diri dari Jerman. Dia seorang fisikawan berkebangsaan Austria berdarah Yahudi yang telah mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjadi profesor fisika di Universitas Berlin — prestasi yang langka pada zamannya.

Namun, pelariannya tidak menghentikan otaknya yang tajam. Dalam perjalanan kereta api menuju Swedia, bersembunyi di toilet kereta, ia mencoret kertas-kertas, menghitung ulang data hasil eksperimen bersama Otto Hahn, rekannya di laboratorium. Dan di sanalah, dalam sunyi dan keterasingan, Meitner menyadari sesuatu yang luar biasa: inti uranium yang dibelah akan melepaskan energi dalam jumlah besar, sesuai dengan rumus Einstein: E = mc².

Penemuan ini dinamai “fisi nuklir”, dan menjadi dasar utama terciptanya senjata nuklir pertama di dunia.

Namun dunia tidak mencatatnya demikian.

Hilangnya Nama di Podium Nobel

Setahun kemudian, Hadiah Nobel Kimia 1944 diberikan kepada Otto Hahn saja. Nama Meitner dihapus dari makalah. Tak ada undangan, tak ada penghargaan, bahkan sekadar pengakuan.

Padahal, Hahn hanyalah ahli kimia yang menyaksikan pecahnya atom di laboratorium. Meitnerlah yang menjelaskan bagaimana dan mengapa itu terjadi secara fisika — membuat hubungan antara data eksperimen dan energi nuklir menjadi masuk akal.

Ketika orang-orang bertanya mengapa dia tidak menuntut pengakuan, Meitner hanya menjawab dengan tenang: “Saya tidak ingin dikenal karena penghargaan, saya ingin dikenal karena apa yang saya tidak lakukan — saya tidak membuat bom.”

 

Perempuan di Lorong Bawah Tanah

Sepanjang kariernya, Lise Meitner hidup dalam bayang-bayang laki-laki. Ia sempat tidak diperbolehkan masuk ke laboratorium lewat pintu utama. Ia ditawari menyelinap lewat lorong bawah tanah, karena dia adalah perempuan. Di institut tempatnya bekerja, tidak ada asrama bagi peneliti wanita — maka Meitner tidur di bawah meja laboratorium.

Namun hal itu tidak menghentikannya. Dengan kerja keras, perhitungan teliti, dan dedikasi tanpa pamrih, dia menjadi guru dari banyak fisikawan nuklir besar Eropa. Dia bukan pendamping — dia pemimpin. Hanya saja, sejarah belum siap menaruh mahkota di kepala seorang wanita.

Penolakan yang Bermoral

Saat Proyek Manhattan mengajak Meitner bergabung dalam pengembangan bom atom, dia menolak. Baginya, sains adalah cahaya, bukan senjata. Ia ingin kekuatan atom dimanfaatkan untuk kehidupan — bukan kematian.

Penolakannya dianggap ‘tidak praktis’ oleh banyak rekan sejawat. Namun hari ini, kita tahu siapa yang berada di sisi yang benar dalam sejarah.

Ia tidak pernah diberi gelar “Ibu Bom Atom” secara resmi. Ia bahkan tidak disebut “Nenek Sains Nuklir.” Karena dalam dunia yang membangun narasi jenius sebagai sosok pria berjas putih dan rambut berantakan, perempuan jenius kerap hanya disebut ‘asisten’ atau ‘inspirasi moral’.

Namun Meitner bukan hanya suara hati nurani. Ia memiliki rumus, data, dan nalar — semuanya. Ia adalah jenius. Titik.

Penutup: Cahaya dari Meja yang Sepi

Lise Meitner wafat pada tahun 1968 dalam kesunyian. Tak ada ledakan, tak ada parade. Tapi warisannya perlahan diakui. Unsur nomor 109 dalam tabel periodik dinamai Meitnerium (Mt) — penghormatan kecil untuk warisan besar.

Hari ini, dalam dunia yang masih belajar mengenali suara perempuan dalam sains, kisah Meitner adalah pengingat: bahwa integritas dan kebijaksanaan jauh lebih langka daripada kecerdasan. Bahwa menemukan sesuatu bukan berarti harus menggunakannya untuk menghancurkan. Dan bahwa kadang-kadang, keberanian sejati adalah mengatakan tidak — meski seluruh dunia berkata ya.

Keterangan Tambahan


Lise Meitner (1878–1968) adalah seorang fisikawan teoretis kelahiran Austria, yang dikenal sebagai salah satu penemu fisi nuklir bersama Otto Hahn. Ia dicalonkan 48 kali untuk Hadiah Nobel, namun tidak pernah menang.

Lise Meitner: Jenius Atom yang Menolak Menjadi Dewa Perusak

Oleh: Martinus Doo
Kategori: Ilmu Pengetahuan & Sosok | Esai Populer

“Saya tidak mempelajari fisika untuk menghancurkan umat manusia.”
— Lise Meitner

Di tengah sejarah besar yang dipenuhi nama-nama lelaki agung seperti Einstein, Oppenheimer, dan Bohr, ada satu nama yang nyaris hilang dalam sunyi: Lise Meitner. Padahal, tanpa dirinya, bom atom mungkin hanya akan menjadi gagasan liar di atas kertas. Ironisnya, dia menemukan formula untuk melepaskan kekuatan luar biasa dalam inti atom — dan kemudian menolak menggunakannya untuk membinasakan umat manusia.

Siapa sebenarnya Lise Meitner? Dan mengapa namanya seperti sengaja disembunyikan dari podium kehormatan dunia sains?

Penemuan di Tengah Pengasingan

Tahun 1938, di tengah gempuran fasisme Nazi dan diskriminasi rasial terhadap Yahudi, Lise Meitner melarikan diri dari Jerman. Dia seorang fisikawan berkebangsaan Austria berdarah Yahudi yang telah mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjadi profesor fisika di Universitas Berlin — prestasi yang langka pada zamannya.

Namun, pelariannya tidak menghentikan otaknya yang tajam. Dalam perjalanan kereta api menuju Swedia, bersembunyi di toilet kereta, ia mencoret kertas-kertas, menghitung ulang data hasil eksperimen bersama Otto Hahn, rekannya di laboratorium. Dan di sanalah, dalam sunyi dan keterasingan, Meitner menyadari sesuatu yang luar biasa: inti uranium yang dibelah akan melepaskan energi dalam jumlah besar, sesuai dengan rumus Einstein: E = mc².

Penemuan ini dinamai “fisi nuklir”, dan menjadi dasar utama terciptanya senjata nuklir pertama di dunia.

Namun dunia tidak mencatatnya demikian.

Hilangnya Nama di Podium Nobel

Setahun kemudian, Hadiah Nobel Kimia 1944 diberikan kepada Otto Hahn saja. Nama Meitner dihapus dari makalah. Tak ada undangan, tak ada penghargaan, bahkan sekadar pengakuan.

Padahal, Hahn hanyalah ahli kimia yang menyaksikan pecahnya atom di laboratorium. Meitnerlah yang menjelaskan bagaimana dan mengapa itu terjadi secara fisika — membuat hubungan antara data eksperimen dan energi nuklir menjadi masuk akal.

Ketika orang-orang bertanya mengapa dia tidak menuntut pengakuan, Meitner hanya menjawab dengan tenang: “Saya tidak ingin dikenal karena penghargaan, saya ingin dikenal karena apa yang saya tidak lakukan — saya tidak membuat bom.”

 

Perempuan di Lorong Bawah Tanah

Sepanjang kariernya, Lise Meitner hidup dalam bayang-bayang laki-laki. Ia sempat tidak diperbolehkan masuk ke laboratorium lewat pintu utama. Ia ditawari menyelinap lewat lorong bawah tanah, karena dia adalah perempuan. Di institut tempatnya bekerja, tidak ada asrama bagi peneliti wanita — maka Meitner tidur di bawah meja laboratorium.

Namun hal itu tidak menghentikannya. Dengan kerja keras, perhitungan teliti, dan dedikasi tanpa pamrih, dia menjadi guru dari banyak fisikawan nuklir besar Eropa. Dia bukan pendamping — dia pemimpin. Hanya saja, sejarah belum siap menaruh mahkota di kepala seorang wanita.

Penolakan yang Bermoral

Saat Proyek Manhattan mengajak Meitner bergabung dalam pengembangan bom atom, dia menolak. Baginya, sains adalah cahaya, bukan senjata. Ia ingin kekuatan atom dimanfaatkan untuk kehidupan — bukan kematian.

Penolakannya dianggap ‘tidak praktis’ oleh banyak rekan sejawat. Namun hari ini, kita tahu siapa yang berada di sisi yang benar dalam sejarah.

Ia tidak pernah diberi gelar “Ibu Bom Atom” secara resmi. Ia bahkan tidak disebut “Nenek Sains Nuklir.” Karena dalam dunia yang membangun narasi jenius sebagai sosok pria berjas putih dan rambut berantakan, perempuan jenius kerap hanya disebut ‘asisten’ atau ‘inspirasi moral’.

Namun Meitner bukan hanya suara hati nurani. Ia memiliki rumus, data, dan nalar — semuanya. Ia adalah jenius. Titik.

Penutup: Cahaya dari Meja yang Sepi

Lise Meitner wafat pada tahun 1968 dalam kesunyian. Tak ada ledakan, tak ada parade. Tapi warisannya perlahan diakui. Unsur nomor 109 dalam tabel periodik dinamai Meitnerium (Mt) — penghormatan kecil untuk warisan besar.

Hari ini, dalam dunia yang masih belajar mengenali suara perempuan dalam sains, kisah Meitner adalah pengingat: bahwa integritas dan kebijaksanaan jauh lebih langka daripada kecerdasan. Bahwa menemukan sesuatu bukan berarti harus menggunakannya untuk menghancurkan. Dan bahwa kadang-kadang, keberanian sejati adalah mengatakan tidak — meski seluruh dunia berkata ya.

Keterangan Tambahan


Lise Meitner (1878–1968) adalah seorang fisikawan teoretis kelahiran Austria, yang dikenal sebagai salah satu penemu fisi nuklir bersama Otto Hahn. Ia dicalonkan 48 kali untuk Hadiah Nobel, namun tidak pernah menang.

 

STK “Touye Paapaa” Deiyai-Keuskupan Timika, Resmi Melepas 29 Mahasiswa KKN ke Paroki Santa Perawan Maria Kemugepa

Deiyai, 2 Mei 2025 – Di Hari Pendidikan Nasional, Sekolah Tinggi Katolik (STK) Touye Paapaa Deiyai secara resmi melepas 29 mahasiswa untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Paroki Santa Perawan Maria, Kemugepa. Kegiatan ini berlangsung selama satu setengah bulan, terhitung mulai 2 Mei hingga 15 Juni 2025.

 

Acara pelepasan dimulai dengan doa bersama, dilanjutkan dengan sambutan dari para dosen sebagai bekal rohani, moral, dan akademik bagi para mahasiswa sebelum mereka terjun ke tengah umat.

Dalam sambutannya, Marius Goo, S.S., M.Fil selaku Dosen Pendamping Lapangan (DPL), menyampaikan apresiasi kepada para dosen pengampu mata kuliah yang telah mempersiapkan mahasiswa melalui pembekalan sebelumnya. Ia berpesan kepada peserta KKN untuk menjaga nama baik kampus dan menunjukkan jati diri sebagai pendidik agama Katolik yang menjadi garda terdepan dalam pewartaan iman. “KKN bukan sekadar program kampus, tetapi bagian dari Tri Darma Perguruan Tinggi: pengabdian kepada masyarakat,” tegasnya.

Sementara itu, Oktovianus Pekei, S.S., M.Sc, selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah KKN, mengingatkan agar mahasiswa menjalankan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dirancang berdasarkan kebutuhan umat. Ia menekankan pentingnya sikap rendah hati dalam belajar dari umat, selain tugas utama mengajar. “Jaga kekompakan, kerja sama, dan nama baik lembaga selama berada di lapangan,” pesannya.

Penjabat Ketua STK “Touye Paapaa”, Martinus Doo, S.Ag., M.Pd., Gr turut memberikan sambutan hangat. Ia menegaskan bahwa peran mahasiswa di tengah umat tidak hanya sebagai guru, tetapi juga sebagai pembelajar. “Bergurulah pada umat: pelajari budaya, adat istiadat, dan nilai-nilai kehidupan yang ada di tengah mereka,” ujarnya penuh harap.
Kegiatan ditutup dengan doa bersama dan sesi foto untuk mengabadikan momen kebersamaan. Selanjutnya, para mahasiswa siap diberangkatkan menuju lokasi KKN untuk melanjutkan misi pelayanan dan pembelajaran iman Katolik secara nyata.

Peliput: Marius Goo, S.S., M.Fil

TANTANGAN DAN HARAPAN GURU AGAMA KATOLIKDI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMASI

Sr. Leonarda Berkasa, S.Pd

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Transformasi digital telah memperkenalkan berbagai inovasi dalam metode pembelajaran, seperti e-learning, penggunaan media sosial sebagai sarana edukasi, serta pemanfaatan aplikasi berbasis teknologi untuk mendukung proses pembelajaran. Di satu sisi, perkembangan ini memberikan kemudahan dalam mengakses sumber belajar yang lebih luas. Namun, di sisi lain, kemajuan ini juga menghadirkan tantangan baru bagi tenaga pendidik, khususnya guru agama Katolik, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.

Guru agama Katolik memiliki peran penting dalam membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran iman Katolik dalam kehidupan sehari-hari. Selain sebagai pengajar, mereka juga bertindak sebagai pendamping rohani yang membentuk karakter dan moral peserta didik sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Namun, di era kemajuan teknologi informasi, peran ini menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya literasi digital, melimpahnya informasi keagamaan yang belum tentu valid, serta berkurangnya interaksi langsung dalam pembelajaran akibat peralihan ke sistem daring.

Meskipun menghadapi tantangan tersebut, era digital juga membuka peluang bagi guru agama Katolik untuk mengembangkan metode pembelajaran yang lebih menarik dan interaktif. Penggunaan platform digital, seperti YouTube, Google Classroom, dan media sosial, dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan materi ajar dengan lebih efektif. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mendalam mengenai tantangan dan harapan guru agama Katolik dalam menghadapi kemajuan teknologi informasi agar mereka dapat menyesuaikan diri dan tetap menjalankan tugasnya secara optimal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan berikut:

  1. Bagaimana perkembangan teknologi informasi memengaruhi peran guru agama Katolik dalam dunia pendidikan?
  2. Apa saja tantangan utama yang dihadapi guru agama Katolik dalam menghadapi era kemajuan teknologi informasi?
  3. Bagaimana harapan dan strategi yang dapat dilakukan oleh guru agama Katolik agar tetap efektif dalam menjalankan tugasnya di era digital?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis dampak kemajuan teknologi informasi terhadap peran dan tugas guru agama Katolik dalam dunia pendidikan.
  2. Mengidentifikasi berbagai tantangan yang dihadapi guru agama Katolik dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi.
  3. Menjelaskan harapan serta strategi yang dapat diterapkan oleh guru agama Katolik agar tetap relevan dalam membimbing peserta didik di era digital.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Bagi Guru Agama Katolik:
    • Memberikan wawasan mengenai tantangan yang dihadapi dalam pembelajaran berbasis digital.
    • Memberikan solusi dan strategi untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran agama Katolik.
  2. Bagi Lembaga Pendidikan:
    • Memberikan pemahaman kepada sekolah dan institusi pendidikan tentang pentingnya dukungan dalam pengembangan kompetensi digital bagi guru agama Katolik.
    • Mendorong integrasi teknologi dalam kurikulum pendidikan agama Katolik.
  3. Bagi Peneliti Selanjutnya:
    • Menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pendidikan agama Katolik di era digital.
    • Menginspirasi pengembangan metode pembelajaran agama Katolik yang lebih inovatif dan berbasis teknologi.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui:

  1. Studi Literatur: Mengkaji berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel ilmiah, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan teknologi informasi dan pendidikan agama Katolik.
  2. Wawancara dan Observasi: Melakukan wawancara dengan guru agama Katolik di berbagai sekolah untuk mengetahui pengalaman, tantangan, serta strategi yang mereka gunakan dalam menghadapi era digital.
  3. Analisis Data: Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Dengan metode ini, diharapkan penelitian dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai tantangan dan harapan guru agama Katolik dalam menghadapi kemajuan teknologi informasi serta rekomendasi yang dapat diterapkan dalam dunia pendidikan.

II. TANTANGAN GURU AGAMA KATOLIK DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

 

2.1 Perubahan Pola Pembelajaran

Kemajuan teknologi telah mengubah cara pembelajaran di berbagai institusi pendidikan. Metode pembelajaran tradisional yang lebih mengandalkan tatap muka kini mulai tergantikan dengan model pembelajaran berbasis teknologi seperti e-learning, kelas virtual, dan penggunaan aplikasi edukasi. Hal ini menuntut guru agama Katolik untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut agar tetap dapat menyampaikan materi secara efektif.

Selain itu, perubahan pola pembelajaran ini juga berdampak pada metode penyampaian nilai-nilai agama yang selama ini lebih banyak dilakukan melalui diskusi langsung dan pengalaman spiritual bersama. Dengan adanya keterbatasan interaksi fisik, guru agama Katolik harus menemukan cara inovatif untuk mempertahankan efektivitas dalam menanamkan nilai-nilai spiritual dalam pembelajaran berbasis teknologi.

2.2 Kurangnya Literasi Digital

Tidak semua guru agama Katolik memiliki keterampilan digital yang memadai untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Kurangnya literasi digital dapat menghambat efektivitas dalam menyampaikan materi ajar, terutama ketika menggunakan platform daring yang memerlukan pemahaman teknis. Sebagian guru mungkin merasa kesulitan dalam mengoperasikan perangkat teknologi, menggunakan aplikasi pembelajaran, atau menavigasi berbagai sumber digital.

Selain itu, minimnya pelatihan dan pendampingan bagi guru dalam mengembangkan keterampilan digital juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi ini. Guru agama Katolik perlu mendapatkan dukungan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan agar mereka mampu mengadaptasi teknologi dengan lebih percaya diri dalam proses pengajaran.

2.3 Penyaringan Konten Keagamaan di Internet

Di era digital, siswa dapat dengan mudah mengakses berbagai sumber informasi keagamaan secara daring. Namun, tidak semua konten yang tersedia valid dan sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Tantangan utama bagi guru agama Katolik adalah memastikan bahwa siswa mendapatkan informasi yang benar dan sesuai dengan doktrin Gereja. Banyaknya sumber informasi yang tidak terverifikasi dapat menyebabkan kebingungan dan pemahaman yang keliru tentang ajaran agama.

Selain itu, fenomena ini juga menuntut guru untuk lebih proaktif dalam memberikan referensi sumber yang valid serta mengajarkan siswa tentang cara menyaring informasi dengan bijak. Guru harus mampu membimbing siswa dalam menggunakan internet sebagai sarana pembelajaran agama yang sehat dan bertanggung jawab, bukan sebagai tempat menyerap informasi yang belum tentu benar.

2.4 Kurangnya Interaksi dan Nilai-Nilai Spiritual

Pembelajaran berbasis teknologi cenderung mengurangi interaksi langsung antara guru dan siswa, yang dapat berdampak pada pemahaman nilai-nilai spiritual secara mendalam. Dalam pembelajaran agama Katolik, interaksi langsung sangat penting untuk membangun hubungan yang erat antara guru dan siswa, sehingga pembelajaran tidak hanya bersifat kognitif tetapi juga afektif dan spiritual. Kurangnya interaksi ini dapat membuat peserta didik kehilangan aspek emosional dan pengalaman rohani yang biasanya didapat melalui kegiatan tatap muka seperti doa bersama, retret, atau perayaan liturgi di sekolah.

Selain itu, dengan berkurangnya interaksi langsung, guru menghadapi tantangan dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani yang biasanya lebih efektif disampaikan melalui keteladanan dan pengalaman nyata. Oleh karena itu, guru agama Katolik harus mencari cara untuk tetap membangun kedekatan dengan siswa meskipun dalam lingkungan digital, misalnya dengan membuat sesi refleksi daring, diskusi spiritual, atau menggunakan teknologi untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih mendalam dan bermakna.

 

III. HARAPAN DAN STRATEGI GURU AGAMA KATOLIK DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

 

3.1 Peningkatan Kompetensi Digital Guru

Di era digital, kompetensi teknologi menjadi hal yang sangat penting bagi guru agama Katolik untuk dapat menjalankan tugasnya secara efektif. Guru perlu memanfaatkan teknologi untuk mendukung proses pembelajaran yang lebih interaktif dan menarik. Peningkatan kompetensi digital ini mencakup penguasaan berbagai platform pendidikan daring, perangkat lunak untuk pembuatan materi pembelajaran, serta keterampilan dasar dalam mengelola kelas virtual. Selain itu, guru juga perlu memiliki kemampuan untuk mengakses berbagai sumber belajar online yang relevan untuk mengembangkan materi ajar yang lebih kreatif dan inovatif.

Namun, peningkatan kompetensi digital tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis semata. Guru agama Katolik juga perlu memanfaatkan teknologi untuk mengajarkan nilai-nilai agama dengan cara yang sesuai dengan ajaran Gereja. Hal ini mencakup pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi untuk memperkuat pemahaman iman dan mendukung pengajaran moral yang kristiani. Pelatihan reguler mengenai penggunaan teknologi dalam pendidikan agama, serta pengembangan keterampilan literasi digital, akan sangat membantu guru untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan potensi teknologi dengan maksimal.

3.2 Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran Agama

Penggunaan teknologi dalam pembelajaran agama Katolik memberikan kesempatan bagi guru untuk menyampaikan materi dengan cara yang lebih menarik dan mudah diakses oleh siswa. Teknologi dapat digunakan untuk membuat video edukatif, infografis, serta aplikasi pembelajaran yang membantu siswa memahami ajaran agama dengan cara yang lebih visual dan interaktif. Selain itu, diskusi daring dan kelas virtual juga memungkinkan siswa untuk belajar secara lebih fleksibel dan sesuai dengan gaya belajar mereka masing-masing.

Namun, guru agama Katolik harus memastikan bahwa penggunaan teknologi tetap memperkuat tujuan utama pendidikan agama, yaitu pembentukan karakter dan nilai-nilai spiritual yang mendalam. Teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan materi, tetapi tidak boleh mengurangi nilai-nilai rohani yang harus dipelajari dan dihayati oleh siswa. Oleh karena itu, guru harus mengintegrasikan teknologi dengan pendekatan pedagogis yang lebih holistik, yang mengutamakan pengalaman spiritual siswa sekaligus memanfaatkan media digital untuk memperkaya pembelajaran agama.

3.3 Pengembangan Sumber Belajar Digital Berbasis Iman Katolik

Salah satu strategi yang dapat diterapkan guru agama Katolik adalah mengembangkan sumber belajar digital yang berbasis pada ajaran Gereja Katolik. Pengembangan sumber belajar ini dapat mencakup modul pembelajaran interaktif, video pembelajaran, serta materi berbasis audio seperti podcast yang menjelaskan ajaran iman Katolik dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh siswa. Keberagaman format ini memungkinkan siswa untuk memilih cara belajar yang sesuai dengan minat dan gaya belajar mereka.

Pengembangan sumber belajar digital berbasis iman Katolik juga harus mempertimbangkan kualitas konten yang disampaikan. Guru harus memastikan bahwa sumber belajar yang digunakan dalam pembelajaran sudah sesuai dengan doktrin Gereja Katolik dan dapat mempertahankan integritas ajaran agama. Dengan memanfaatkan teknologi, guru dapat menyediakan materi ajar yang lebih fleksibel dan menarik, serta memperkenalkan siswa pada berbagai macam referensi yang dapat memperkaya pemahaman mereka tentang ajaran agama Katolik.

3.4 Peningkatan Keterlibatan Orang Tua dalam Pembelajaran Berbasis Teknologi

Keterlibatan orang tua dalam pembelajaran berbasis teknologi sangat berperan penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan memperkuat nilai-nilai agama Katolik di rumah. Orang tua dapat memberikan dukungan moral dan emosional yang diperlukan oleh anak-anak mereka dalam menghadapi pembelajaran daring, terutama dalam pembelajaran agama yang memerlukan penghayatan mendalam. Oleh karena itu, guru agama Katolik harus melibatkan orang tua dalam proses pembelajaran, baik melalui pertemuan daring, diskusi kelompok, atau dengan memberikan tugas yang dapat dikerjakan bersama keluarga.

Selain itu, orang tua juga berperan dalam memastikan bahwa anak-anak mereka mengakses sumber informasi yang benar dan sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Melibatkan orang tua dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan agama Katolik dan membantu mereka untuk lebih aktif mendampingi anak-anak mereka dalam mempraktikkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kerjasama antara guru dan orang tua, pembelajaran agama Katolik dapat terintegrasi dengan lebih baik dalam kehidupan siswa, baik di sekolah maupun di rumah.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi informasi memberikan dampak yang signifikan terhadap peran guru agama Katolik dalam dunia pendidikan. Meskipun terdapat berbagai tantangan, seperti kurangnya literasi digital, penyaringan konten keagamaan, serta berkurangnya interaksi langsung dengan siswa, terdapat pula peluang besar untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran melalui pemanfaatan teknologi.

Guru agama Katolik perlu mengembangkan kompetensi digital mereka agar dapat menggunakan teknologi secara efektif dalam mengajarkan ajaran iman Katolik. Selain itu, integrasi teknologi dalam pembelajaran agama, pengembangan sumber belajar digital, serta keterlibatan orang tua menjadi faktor kunci dalam memastikan bahwa pendidikan agama Katolik tetap relevan di era digital.

4.2 Saran

Untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dalam era teknologi informasi, beberapa saran yang dapat diberikan adalah:

  1. Bagi Guru Agama Katolik:
    • Mengikuti pelatihan dan workshop tentang teknologi dalam pendidikan.
    • Meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan metode pembelajaran berbasis digital.
    • Berkolaborasi dengan guru lain dalam berbagi pengalaman dan sumber daya digital.
  2. Bagi Lembaga Pendidikan:
    • Menyediakan fasilitas dan pelatihan teknologi bagi guru agama.
    • Mendorong penggunaan platform digital dalam pembelajaran agama.
    • Mengembangkan kebijakan yang mendukung penggunaan teknologi dalam pendidikan agama Katolik.
  3. Bagi Orang Tua dan Masyarakat:
    • Mendukung anak dalam belajar agama secara digital dengan bimbingan yang tepat.
    • Berperan aktif dalam komunitas digital berbasis iman.
    • Memastikan bahwa anak mengakses sumber belajar agama yang valid dan terpercaya.

Dengan adanya sinergi antara guru, lembaga pendidikan, orang tua, dan masyarakat, diharapkan pendidikan agama Katolik dapat tetap berjalan secara efektif dan tetap relevan dalam era kemajuan teknologi informasi.

===========================

DAFTAR PUSTAKA

  1. Adi, I. M. (2019). Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Agama Katolik di Sekolah. Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 10(1), 25-40.
  2. Arifin, Z. (2020). Transformasi Pembelajaran Agama di Era Digital. Yogyakarta: Penerbit Andi.
  3. Anderson, C. A., & Dill, K. E. (2019). The Impact of Technology on Religious Education. Journal of Religious Education, 67(3), 112-128.
  4. Brown, R. M. (2018). Digital Teaching in Religious Studies: Opportunities and Barriers. Journal of Educational Development, 15(2), 58-70.
  5. Daryanto, H. (2018). Strategi Pembelajaran Inovatif untuk Pendidikan Agama Katolik. Bandung: Alfabeta.
  6. Fajar, S. (2021). Pengembangan Kompetensi Digital Guru Agama Katolik. Jurnal Pendidikan dan Teknologi, 15(2), 89-105.
  7. Hadi, S. (2022). Meningkatkan Literasi Digital Guru Agama di Era Teknologi Informasi. Jurnal Pendidikan Islam, 13(3), 125-140.
  8. Hall, K. J., & Nance, T. P. (2021). E-Learning in Religious Education: A Global Perspective. Educational Technology Review, 10(1), 85-98.
  9. Lee, S. Y. (2022). Technology in the Classroom: The Role of Digital Tools in Religious Education. Journal of Religious Studies and Education, 13(2), 204-218.
  10. Sari, R. (2021). Peran Guru Agama Katolik dalam Pengembangan Pembelajaran Digital. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama, 7(1), 34-48.
  11. Setiawan, B. (2020). Strategi Pengajaran Agama Katolik di Era Digital. Surabaya: Universitas Kristen Petra Press.
  12. Smith, J. (2020). Challenges in Religious Education: Adapting to Digital Changes. International Journal of Educational Technology, 19(4), 321-335.
  13. Widodo, S. (2021). Peningkatan Keterampilan Digital Guru Agama dalam Pembelajaran Jarak Jauh. Jurnal Pendidikan Agama, 12(2), 110-120.

MEMAHAMI PERPUSTAKAAN

Diliput hari Jumat, 21 Februari 2025

Dalam pendidikan perpustakaan menjadi hal penting guna mendukung dan mengembangkan di dunia literasi. Namun perpustakaan bukan hanya penting di sebuah pendidikan formal tetapi perpustakaan penting juga di setiap lingkungan dalam masyarakat.

Tidak asing lagi kita dengar kata perpustakaan, sehingga di mana saja kita akan temukan atau dengar kata tersebut, di dunia akademisi, di media, di seminar, di jurnal, dalam buku, dan di tengah-tengah masyarakat bahkan pandangan-pandangan dari para ahli. Di Indonesia bahkan dunia selalu berupaya untuk membuka dan mendorong agar setiap institusi dibangun bahkan dirawat gedung-gedung perpustakaan yang megah supaya minat menulis, membaca, dan tingkat intelektualnya terus meningkat. Akan tetapi, kata perpustakaan memberi ruang kepada kita untuk dapat mengamati, memahami, dan mengartikan maksud dan keberadaan dari pada perpustakan itu sendiri, sebab dalam perpustakaan itu telah menyediakan banyak hal bukan hanya buku-buku, jurnal, dokumen dan lain sebagainya tetapi perpustakaan dalam pengartiannya begitu luas, maka tergantung kita memandang dan mengartikannya.

Perpustakaan adalah sebuah ruang di mana telah tersedianya banyak hal, yang kita akan mempelajari dan mengalaminya sebut saja: sekolah, kampus, rumah, alam dan lain sebagainya termasuk media-media yang sedang berkembang pesat ini, karena di dalamnya kita akan pelajari bagian-bagian, jenis dan juga fungsinya. Perpustakaan memberi kita ruang dan manfaat untuk terus mengembangkan ide, membaca, menulis, serta mempelajari alam sekitarnya. Dalam seminar mini di Kampus Sekolah Tinggi Katolik “Touyee Paaa” Deiyai, Bapak Marius Goo, dalam materinya bahwa “menulis itu tidak dapat dipisahkan dari hidup”. Artinya, setiap keberadaan kita terus belajar dan menulis guna ide-ide dan potensi-potensi kita semakin bertumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, untuk memahami keberadaan perpustakaan bukan hanya di kampus dan di sekolah, namun keberadaan perpustakaan dapat dikatakan juga di rumah, di hutan, di kebun, di lingkungan di mana kita berada. Maka, kita sebagai mahasiswa setiap tempat itu menjadi penting untuk memanfaatkannya berkaitan dengan literasi.

Penulis: Andrias You.  Mahasiswa Sekolah Tinggi Katolik “Touye Paapaa” Deiyai. (Semester VI)

Dama, 22/02/25

SIKAP IMAN DAN PENDIDIKAN MORAL

(Sebagai Calon Guru Agama Atau Pewarta Sabda Allah)

Oleh

Fransiskus Woogaadaabi Doo, S.S

A. PENGANTAR

Pada kesempatan ini kami (Woogaadaabi) hendak mencoba mengecek motivasi awal para mahasiswa-mahasiswi masuk dan memilih sekolah ini dan bukan sekolah lain, sebelum kami menyampaikan materi tentang “SIKAP IMAN & PENDIDIKAN MORAL SEBAGAI CALON GURU AGAMA ATAU PEWARTA SABDA ALLAH”.

Mengapa anda justru memilih sekolah ini dari pada sekolah lain?

Mengapa kita mau dididik/dibina/diajari untuk menjadi guru agama katolik atau menjadi pewarta dalam umat kita?

 

B. PENGERTIAN IMAN

Iman = percaya  & Sikap = keputusan/perilaku

Dalam hidup setiap hari, kita harus percaya pada berbagai macam hal, berdasarkan apa yang dikatakan oleh orang lain. Bernapas pun juga karena percaya. Kita tidak bisa menyelidiki udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan, dan sebagainya, meskipun kita percaya bahwa semua itu ada.

Kepercayaan akan Firman Tuhan adalah karunia yang datang dari Allah (bdk Mat 16:17;

1 Kor. 12:3; 2Ptr 1:11, dll). Karena itu Iman/Kepercayaan ini merupakan “Dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang kita tidak lihat” (Ibr 11:1).

Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.

Salah satu contoh pekerjaan orang beriman, misalnya pekerjaan iman yang dilakukan oleh Nuh. Ia mempersiapakan BAHTERA untuk menyelamatkan keluarganya dari air bah.

Ia mengambil sikap/keputusan ketika ada petunjuk dari Allah. Nuh melakukan itu tanpa mengetahui  hasil akhirnya. Namun, dengan dorongan/daya imannya, ia tekad-niat untuk mempersiapkannya sesuai perintah Allah. Singkatnya: karena Nuh percaya pada Allah maka ia dan keluarga SELAMAT.

 

C. PENDIDIKAN MORAL SEBAGAI CALON GURU AGAMA ATAU PEWARTA SABDA ALLAH

 

a. Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke kegenarasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.

Secara Bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku (tingkalaku) seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan. Tujuan utama pendidikan adalah untuk HIDUP atau SELAMAT.

b. Moral

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam Bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Widjaja (1985: 154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).

 

c. Pendidikan Moral

Pendidikan Moral adalah upaya memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan tak hanya untuk membentuk manusia yang cerdas otaknya dan terampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral. Maka dari itu, pendidikan semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan kepada mahasiswa (peserta didik), tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.

Sebagaimana umat Israel selamat dengan kedua nilai-nilai ini yang termuat di dalam sepuluh Firman Allah. Allah mentransfer sepuluh firman kepada Musa agar bangsa Israel HIDUP atau SELAMAT sampai tanah terjanji. Sehingga dengan transfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal, kita diharapkan dapat menghargai kehidupan orang lain tercermin dalam tingkah laku agar memahami pengertian dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dalam terang Roh Kristus yang menghidupkan dan menyelamatkan kita.

 

D. HIDUP DALAM ROH KRISTUS YANG MEMBEBASKAN

 

Hidup bagaikan perlombaan lari, demikian yang dialami Paulus (Bdk. Flp. 3: 1b-16). Perhatian kita seluruhnya tertuju pada hadiah yang di depan. Hadiah itu adalah panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. “Segala sesuatu kuanggap sampah karena aku telah ditangkap Kristus”.

Kita mengenal Paulus ternyata tidak sia-sia karena seluruh orientasi hidupnya berpusat pada Yesus Kristus. Yang Paulus inginkan adalah hidup dalam Roh Yesus Kristus; sehingga bukan Paulus sendiri yang hidup melainkan Kristus yang hidup dalam dia. (Bdk. Gal. 2:20)

Kristus yang sama itulah yang memberikan Roh-Nya kepada kita. Dan Roh Yesus Kristus ini yang menggerakkan kita menuju kepada Allah.

Marilah kita hidup dalam Roh Yesus Kristus yang membebaskan, supaya kita menjadi milik Kristus. Dengan menjadi milik Kristus kita dapat menampakkan buah-buah Roh yang adalah kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri. Sikap iman inilah yang perlu kita hayati.

 

E. RELEVANSI SIKAP IMAN & PENDIDIKAN MORAL SEBAGAI CALON GURU AGAMA ATAU PEWARTA SABDA ALLAH

 

Sesungguhnya, iman dan sikap (perilaku-moral) hidup nyata sehari-hari merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Iman tidak hanya soal doa, hidup ibadah, perayaan liturgi, devosi, membaca kitab suci, meditasi dan hening. Singkatnya, iman bukan soal hidup mistik/rahasia yang jauh dari kenyataan. Iman bukan soal urusan hubungan kita dengan Allah saja (vertikal). Tetapi juga hunungan kita dengan sesama (alam dan manusia), horisontal.

Iman melekat dalam kenyataan kodrat, hidup nyata, pergumulan dan perjuangan sehari-hari, di rumah, di Kampus atau di sekolah, di gereja, di kebun, di kantor, di pasar, di mana saja! Inilah aspek horisontal iman yang kerap dilupakan; namun tanpa dalam perwujudan dan tindakan! Iman yang begini justru semakin menantang untuk dihayati, dilaksanakan dan diwujudkannyatakan dalam kehidupan pribadi maupun bersama.

Secara biblis, kaitan antara iman dan hidup nyata sehari-hari telah ditegaskan dan disimpulkan serta menjadi landasan perjuangan kita, oleh St. Yohanes ketika menulis, “Sang Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di tengah-tengah kita!” (bdk. Yoh. 1:14). Dalam permenungan itulah dirangkum kenyataan iman yang terkait erat dengan hidup nyata sehari-hari.

 

 

F. KESIMPULAN

 

Baik Belajar, khotbah, kerja dan doa maupun cara lain dalam hidup kita untuk mewartakan SABDA ALLAH, menimbulkan dan memperdalam IMAN KEPERCAYAAN akan Yesus. Iman kepercayaan kita akan Yesus Kristus itulah yang kita menyatakan dalam sikap  (perilaku) hidup. Dengan itu, kita mampu membedakan baik dan buruk perilaku kita setiap hari. Kita sebagai orang yang telah diutus untuk menelah pendidikan demi mendaginkan SABDA ALLAH di dalam hidup tiap hari.

Dengan dilandasi Iman yang kuat, sikap yang baik dan menjujung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan demi pendewasaan kita untuk tetap HIDUP dan atau SELAMAT.

(Materi OSPEK STK “Touye Paapaa” Deiyai, 7 Agustus 2024).

PENDIDIKAN KARAKTER REVOLUSI MENTAL

MATERI OSPEK STK-TP 2024

Oleh Yulius Pekei, S.Pd. M.Pd.

=======================================================

Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita di Meeuwo. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, Kejahatan Terhadap lingkungan, Kejahatan Terhadap Tuhan,  pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik terhadap Alam, Manusia dan Lingkungan sehingga jangan padamkan semangat belajar di STK-TP.

Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter kita dalam proses perkuliahan di banku kuliah di STK-TP. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat:  memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.

Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  Negara dan Alam Sekitarnya. Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya, Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).

Nilai Kehidupan dalam pendidikan karakter terdiri dari  18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yang kita perluh hayati masa perkembangan Diri Individu kita yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab.

Nilai-nilai pendidikan karakter terdiri dari 18 Nilai Pendidikan Karakter, Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan untuk membantu pembentukan karakter secara optimal.

Nilai Ingin Rasa Tahu yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar kemudian mengembangkanya   pada anak dengan cara mengajak anak meneliti sesuatu yang ada disekitarnya kemudian berdiskusi sederhana tentang apa yang sudah diteliti!

Nilai Semangat Kebangsaan yaitu cara berpikir, bertindak, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya! cara mengembangkannya pada anak bisa melalui mempelajari cara dan polah hidup adat isti adat dari orang lain.

Nilai Cinta Tana Air yaitu cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Nilai Peduli Lingkungan  yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya menghayati kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi! Secara menyeluruh dan  mengembangkannya rasa peduli lingkungan yaitu dengan mengajak anak untuk berkebun dan mengajari mereka untuk menanam Pohon yang ada disekitar kita dan lingkungan umum seperti di lingkungan sekolah, gereja, dan rumah sakit. Mengajak anak menjaga dan memlihara tanaman merupakan mencintai lingkungan alam  yang senantiasa menyelamatkan kita dalam kehidupan.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip nilai di atas ini, berikut ini dikemukakan sejumlah ungkapan nasehat yang keluar dari mulut Para orang tetua yaitu sebagai berikut:

  1. AKI KIIDI TEEKOWAAPE KO, AKI NOTA TENAIINE! Jikalau anda sendiri tidak bekerja, maka anda tidak akan makan!
  2. AKI KIIDI DIMI TEGAAPE, AKI BEU KODO TO TOUUNE! Jikalau anda’sendiri tidak berpikir,

maka anda tetap tak punya!

  1. AKI KIIDI BIDA TEKIIPE, AKI DEBU KODO TO TOUUNE! Jikalau anda tidak menjadi kuat, maka anda akan tetap lemah!
  2. AKI KIIDI TETOPIIPE, AKI EWOO KODO TO TOUNE! Jikalau anda tidak belajar, maka anda akan tetap bodoh!
  3. AKI KIIDI TEUBAAPE KO, AKI TEDOOMAKAI NE! Jikalau anda sendiri tidak mencari, maka anda tidak akan menemukan!
  4. AKI KIIDI MATOKA TE=TUWAAPE KO, AKI DABA KIDI TO TOU NE! Jikalau anda sendiri tidak rajin, maka anda akan tetap miskin!
  5. BOKAI PUTUU, WOYA AWII MA, PINI AWII MA KO, AKI KIDI. AKAATO GANEIDA!. Usiamu menjadi panjang atau pendek, ada di tangan anda sendiri!

Kita mahasiswa STK-TP adalah makluk yang ingin mendalami diri tentang pentingnya berakal  budi dan berbatin.. Tugas kita dalam hidup tidak boleh dibedakan adalah, berpikir. Berpikir itulah panggilan martabatnya dan kenyataan ini pula yang membedakan manusia dari segala makluk yang lain.  Dengan tindakan berpikir manusia membuahkan pemikiran-pemikiran. Tindakan berpikir yang merupakan keseluruhan dari kegiatan rohani manusia itu disebut “GAI”. Dengan berpikir manusia melahirkan pemikiran yang dinamakan “DIMI”. akal budi yang berpikir itu disebut “DIMI GAI” . sedangkan bathin yang berpikir adalah “KEGEPA GAI”,  namun akal budi dan bathin yang berpikir ini dapat disingkat saja dengan menyatakan “DIMI GAI”.  Dengan menyatakan berpikir yang dimaksudkan adalah akal budi dan bathin yang berpikir. Hasil kegiatan berpikir itu adalah pemikiran atau dimi agar kita selesai dari STK-TP

Jika dikatakan “pemikiaran” maka yang dimaksudkan adalah keseluruhan yang meliputi: pengertian dan pemahaman , pandangan dan dan pengetahuan, pendapat dan pendidikan, penerangan dan pengajaran, pembinaan dan pembimbingan penyadaran dan keteladanan, pengarahan dan petua. Ini juga yang musti dipikirkan manusia terus menerus.

Tindakan berpikir, manusia berpikir dengan bersama, berpikir dari, berpikir melalu, berpikir karena, berpikir untuk, berpikir supaya, berpikir kepada segala sesuatu yang bisa dan harus dipikirkanya. Dalam tindakan berpikir juga adalah tugas dan segalanya merenung dan mengerti, menyadari dan memahami, menyinsyafi dan menganalisa menyeleksi dan menyentukan, menyetapkan dan mengarahkan, menyimbang dan memilih segala pemikiran yang dipikirkanya.

Almarhum Manfred Mote juga pernah menyinggun dalam buku Touye bahawa bahwa manusia yang berpikir itu musti memikirkan “pikiran –pikiran sejatih manusia yang hidup”. Maksud dari pemikian-pemikiaran yang hidup adalah segala pemikiran manusia yang entah langsung ataupun tak langsung. Dengan hidup dan kehidupan ini juga yang menyatakan dan mengungkapkan hidup serta kehidupan, lagi pula yang menunjuk dan mengarahkan kepada hidup dan kehidupan serta mengantar dan menjadikan manusia hidup dan berkehidupan. Semua pemikiran yang tak bertentangan dengan hidup dan kehidupan boleh dijadikan sebagai objek pemikiran. Alamat utama dari kegiatan berpikirmusti terarah atau diarahkan kepada (DIMI)  manusia –manusia yang hidup atau lain perkataan kehidupan dan hidup manusia, musti merupakan tujuan dasar dari segenap tindakan berpikir. Semua pemikiran yang merongrong dan mengancam hidup dan kehidupan manusia tak boleh ada, tak boleh diadakan dalam kegiatan berpikir.

Tugas kita bersama yaitu kita semua manusia, entah dari mana asal negeri dan suku bangsa, enta dari apa ras dan bangsahnya, enta apa dia itu seorang pria atau wanita, enta dia adalah seorang  yang peranan belajar di sekolah atau tidak, enta dia itu adalah orang yang sedang memangku suatu jabatan atau bauwahan yang memiliki sikap hormat dan rakyat jelata, entah apa ideologi dan keyakinanya yang ada didalam dirinya untuk secara terpadu dan bersama-sama memikirkan hakekat sejati dari hidup dan kehidupan kita ini. Panggilan kita bersama selaku manusia adalah untuk dari hati yang di penuhi rasa cinta yang suci memikirkan nasib dari hidup dan kehidupan ini.

Kita sudah masuk di lingkungan  STK Touye Paapaa, berarti kita menyadari sunggu bahwa kita sudah masuk dunia yang beda dgn lingkungan sebelumnya, sehingga semua perluh menyadari bahawa manusia adalah makluk yang hidup. Kita semua menambakan suatu hidup atau kehidupan yang layak dan manusiawi. Kita semua disadari maupun tidak disadari bating kita sedang merindukan hidup dan kehidupan yang sungguh –sungguh manusiawi.  Kita semua adalah manusia yang bermartabat satu dan sama yaitu hidup dan berkehidupan yang berpikir dan berpemikiran. Kenyataan yang membahagiakan bila kita semua sepikir  dan sehati untuk merumuskan pemikiaran-pemikiran yang mengajarkan tentang hidup dan kehidupan yang mengantar kepada kesejatraan dan kedamaian universal.

Martabat sejati manusia ini musti dipelihara, dibimbing dan diarahkan, dibina di didik oleh akal budi dan hati nurani yang memancarkan kebenaran dan kebijaksanaan. Bukankah potensi kebenaran dan kebijaksanaan bertahkta di dalam diri kita semua manusia?, bukankah kita semua manusia yang hidup musti berakal budi  dan berhati nurani yang benar lagi bijaksana untuk memprogramkan segenap kegiatan berpikir yang mengarah kepada hidup dan berkehidupan yang manusiawi?, bukankah manusia yang hidup harus berpikir mengenai hidup dan kehidupanya?,. jika kita semua manusia menyadari  betapa pentinya hidup dan kehidupan martabat serta martabat yang hidup dan berkehidupan, maka kita akan percaya dalam pemikian bahwa kita semua manusia yang musti memprogramkan dan melaksanakanya.

Bilah kita manusia berpikir, pemikiran yang kita hasilkan harus memancarkan sinar-sinar yang menerangi kehidupan , bila kita manusia  mengerti pengertian yang kita buahkan musti menampilkan warna darti kesejatian hidup ini. Bilah kita manusia memahami, pemahaman yang kita semakin hendaknya menumbuhkan semangat yang suci guna menata makna keluhuran hidup  dan kehidupan ini; bila kita manusia memandang pandangan kita wajib menaburkan kedalam kediarian setiap insan mulia dari martabat  agung insang yang hidup. Bila kita manusia menyadari, kesadaran kita wajib mengaliran aliran aliran air yang hidup yang menghidupkan yang bersumber dari kedalaman diri demi berseminya rasa kasih yang tulus kepada nilai kemanusiaan manusia; bila kita manusia mensyafi, keinsyafian kita harus terarah kepada cinta yang universal untuk menyapa setiap manusiah terlebih kepada jiwa-jiwa yang mendambakan perhatian jujur yang datang dari hati yang benar. Bila kita ,manusia menganalisa. Analisa kita musti berpangkal tolak dari pengalaman hidup dan kehidupan. Realita hidup dan kehidupan yang sedang dialami dan musti  tentang hidup dan kehidupan yang akan dijelajah  dimasa depan nanti yang mana semua itu merupakan realita saja yakni’ hidup dan atau kehidupan, agar hidup dan kehidupan ini sendiri menjadi suatu berita yang mensuka citakan; bila kita manusia menyeleksi. Seleksi kita itu hendaknya memberikan orientasiyang jelas dan benar untuk menjalani hidup dan kehidupan.

Bila kita manusia menentukan , penentuan kita hendaknya memberikan pedoman ibarat tongkat yang menuntun perjalanan bagi orang yang buta dalam hidup dan kehidupan semua insane agar bukan duka nestapa yang menjadi alamat hidup dan kehidupan menuju kesejatraan dan kedamaian yang menyegarkan jiwa raga dari manusia yang utuh bila kita manusia yang menetapkan . penetapan kita itu tentu wajib berisi makna kegembiraan yang menghibur setiap manusia yang dirundung kegelapan, karena kepahitan- kepahitan yang dialami dalam hidup dan kehidupannya. Bilah kita manusia mengarahkan , pengharaan kita musti memperlihatkan dan menyuarakan  kegairaan yang menggerolakan setiap lubuk manusia untuk berpegang tegu dalam pemikran dan kepercayaan akan kebenaran dan kebijaksanaan bahwa tujuan akhir definitif dari manusia adalah hidup atau kehidupan, bila kita manusia menyimbang pertimbangan kita itu harus yang berkebenaran dan berkebijaksanaan itulah inti sari kehidupan dan kehidupan dan hidup manusia yang dari padanya mengalirkan segala nilai kebaikan yang berpusat pada martabat mulia dari manusia. Bila kita manusia berpikir semua yang disebut di astas inilah yang umumnya kita pikrkan;

  

BAB III  PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat menyimpulkan bahawa pendidikan karakter berarti sifat-sifat kebiasaan yang memebedakan seseoran dari orang lain. Yang mengandung komponen pengetahuan tentang Ke-Tuhanan, Pengetahuan Tentang Kesadaran Individu, Kesadaran Lingkungan kesadaran sesama “Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab.

Saran

  • Pendidik menemukan perilaku siswa yang positif dan negatif!, oleh sebab itu kita perluh menanamkan nilai nilai karakter yang baik yang dari leluhur yang di warisi melalui amanat atau pesan yang di sampaikan melalui cerita rakyat, mitos, legenda , perluh kita lestarikan dan merawatnya demi keselamatan kelangsungan hidup kita.
  • Mahasiswa STK-TP Perluh belajar bannyak tentang reverensi yang ada baik melalui perkuliahan di STK-TP.
  • Mahasiswa STK-TP Perluh miliki buku pegangan mata kuliah dari dosen selama belajar di STK -TP dan perluh pelajari mendalam buku Almarhum Manfred mote tentang “BUKU TOUYE”

DAFTAR PUSTAKA

  • Arikunto, Suharsimi. 1991. Penelolaan Kelas dan Siswa, Sebuah Pendekatan Evaluatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
  • Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru Dan Anak Didik Dalam Interkasi Edukatif.
  • Ali, Hamdali. 1985. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang,
  • Amini, Ibrahim. 2006. Agar Tak Salah Mendidik Anak. Jakarta: Al Huda,
  • Mote Manfred, 20013, TOUYE Pegangan Hidup Bersama ) Timika: Cermin Papua

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI

(Materi ini disampaikan kepada Mahasiswa baru STK “Touye Paapaa” Deiyai Keuskupan Timika – Papua Tengah, pada sesi Pertama, Selasa 06 Agustus 2024)

Oleh: Yohakim Tekege, S.S., M.M

 

Materi Orientasi Pendidikan (Ospek) ini disusun demi dan kepentingan Mahasiswa Baru (MABA) STK Touye Paapaa Deiyai Keuskupan Timika demi diketahuinya cara keterlibatan Mahasiswa dalam Tridarma Perguruan Tinggi, baik dalam pendidikan dan pengajaran, Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara pribadi maupun kelompok. 

Tulisan lengkapnya baca di link berikut: https://shorturl.at/hyLsO

ADAPTASI KAMPUS:

Perjalanan Mahasiswa Baru Menuju Sukses

(Materi ini disampaikan kepada Mahasiswa baru STK “Touye Paapaa” Deiyai Keuskupan Timika – Papua Tengah, pada sesi kedua, Selasa 06 Agustus 2024)

Oleh: Martinus Doo, S.Ag., M.Pd., Gr

 

Memasuki dunia perkuliahan adalah pengalaman yang sangat berkesan bagi mahasiswa baru. Dengan berbagai tantangan dan peluang yang menanti, adaptasi di kampus menjadi kunci untuk mencapai kesuksesan akademik dan personal. Materi lengkapnya download di link berikut: https://shorturl.at/9a0vY